Tanggal 3 Juli 2013
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman
Heriawan meluncurkan program revitalisasi sawit di Desa Durian Amparan
Kecamatan Batiknau Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Penanaman sawit secara
simbolis di atas lahan seluas 2.948 hektare yang dikelola sebanyak 1.472 kepala
keluarga itu menandai peluncuran program tersebut. "Dengan
program kemitraan ini, bibit yang ditanam petani disediakan perusahaan avalis,
dengan kualitas bibit terjamin unggul," tambahnya. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bengkulu Ricky
Gunarwan mengatakan revitalisasi tanaman sawit dengan sistem avalis menempatkan
petani sebagai "penanam saham" "Seluruh pembiayaan dijamin
avalis, petani sebagai penanam saham berupa lahan," tuturnya.
Program untuk 1.472 kepala keluarga tersebut
kata dia tersedia pembiayaan Rp107 miliar dari BRI yang dijamin PT Sandabi
Indah Lestari (SIL) sebagai avalis. Proses penanaman hingga panen pada lima
tahun mendatang dibebankan bunga bank sebesar 6 persen yang disubsidi
pemerintah, lalu pada lima tahun berikutnya akan diberlakukan pola komersial.
"Selama 10 tahun produksi, pembagiannya
sebesar 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk perusahaan, selanjutnya
setelah 10 tahun, 100 persen untuk petani," ujarnya. (AntaraNews)
ANALISA KASUS
SKEMA PROGRAM
KEMENTRIAN PERTANIAN
REVITALISASI
PERKEBUNAN SAWIT (KPEN-RP)
Ket :



PEMBAHASAN/ Analisis
Kronologi/Latar
Belakang
1. Dasar Hukum Program
·
Peraturan
Menteri Keuangan No.117/PMK.06/2006
·
Peraturan
Menteri Pertanian No.33/Permentan/OT.140/7/2006
Program
revitalisasi perkebunan ini telah dimulai semenjak 2007 yang bertujuan
mempercepat pengembangan perkebunan rakyat melalui aktivitas peremajaan,
perluasan dan rehabilitasi kepada tiga komoditas (kelapa sawit, karet dan
kakao). Kebijakan ini menggunakan pendekatan pola inti rakyat dan plasma dengan
melibatkan perusahaan perkebunan dengan petani.
Revitalisasi
perkebunan ini telah dilaksanakan dua tahap yaitu tahap pertama 2007-2010 dan
tahap kedua 2011-2014. Untuk tahap pertama, target luas lahan perkebunan yang
direvitalisasi mencapai 2 juta hektare. Terdiri dari kelapa sawit ditargetkan
1,5 juta hektare, karet seluas 300 ribu hektare, dan kakao seluas 200 ribu
hektare. Dari target dua juta hektare tersebut yang dapat
terealisasi 165.241 hektare atau sekitar 11% hingga akhir 2010.
tapi apa yang terjadi sampai dengan saat ini, dari tahun 2006
saat program ini pertama kali diluncurkan, belum ada terlihat masyarakat petani
yang telah menikmati hasil dari program tersebut,karena dengan program non
mitra dan mitra membuat para petani kesulitan mendapatkan dana pinjaman
tersebut secara non mitra (langsung petani), sehingga para masyarakat petani
seperti “dipaksakan” harus mencari perusahaan perkebunan sebagai penjamin
(mitra).
kebijakan
ini juga sesungguhnya sangat merugikan para petani, karena :
1.
Petani mandiri/swadaya seakan
dipaksa harus bermitra dengan perusahaan agar mendapatkan pinjaman dari Bank utk
membantu menggarap lahan, sementara petani non mitra jangan berharap dapat
mengajukan pinjaman apabila tidak mempunyai penjamin (avalis)/ “ Bapak Angkat”.
2.
Program dan kebijakan ini bersifat
“ Pola Satu Atap”Dalam mekanisme program ini kami melihat justru pihak petani
lebih cenderung dirugikan dan pihak perusahaan jauh lebih diuntungkan, karena
tidak mungkin pihak perusahaan memberikan pinjaman tanpa jaminan,karena pihak
Bank juga tidak akan merealisasikan uang tersebut apabila tanpa memenuhi prosedur-prosedur,seperti
:
·
Biasanya dalam program ini petani
harus menyerahkan kepemilikan kebun sebagai jaminan utang yang nantinya
diserahkan pada bank dan produksi sawit petani mesti harus menjual pada pihak
perusahaan dalam hal ini (PT.SIL) dengan harga yg ditetapkan perusahaan.
Seperti pada kasus PTPN XIII di Kalimantan Timur Artinya, jika program ini
berjalan maka petani harus menanggung utang selama kurang lebih 15 tahun bila
ditafsir mencapai Rp. 120 Juta dari utang awal (Jika utang pada perusahaan,
maka biasanya perusahaan akan memberikan utang
pada petani lebih dari standar biaya penanaman bahkan mencapai 2x
lipat). Padahal bila kewajiban replanting dilaksanakan sendiri petani hanya
menelan dana sebesar Rp. 20 Juta untuk pembelian bibit dan perawatan kebun
hingga mampu produksi.
3.
Jika terjadi kegagalan dalam
pengelolaannya yang berakibat bangkrutnya perusahaan dalam hal ini PT. SIL
sebagai pihak avalis (penjamin) petani, resikonya pihak bank akan menyita semua
asset termasuk jaminan pinjaman milik petani.
4.
Belum adanya komitmen yang serius
dalam jaminan penyediaan bibit unggul, pupuk, dll.
5.
Pihak perusahaan menyerahkan
pengelolaan manajemen satu atap dan petani sawitn pemilik lahannya
masing-masing, jadi pihak perusahaan bisa lepas tangan saat ada masalah.
Berdasarkan
analisa ini kita menilai program Revitalisasi yg diluncurkan oleh pihak
Kementerian Pertanian merupakan suatu paket program yang telah dirancang untuk
memberikan keuntungan sepihak kepada pemilik perusahaan dan merampok tanah
warga sekaligus mempersempit lahan usaha masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar