Setelah perkebunan sawit, giliran pertambangan batubara merusak
Seblat. Contohnya pada 2009, PT Global Kaltim melakukan penambangan batubara
dengan luas konsensi 921 hektar. Lokasinya persis berada di sebelah timur Desa
Suka Baru atau tak jauh dari lokasi Pusat Konservasi Gajah Seblat.
Selain mengganggu keberadaan satwa, aktifitas batubara ini juga
memicu masyarakat untuk menguasai lahan yang diduga mengandung batubara.
Teorinya, setelah menguasai lahan, mereka akan menjualnya dengan perusahaan
penambangan batubara, seperti yang sudah mereka dilakukan dengan PT Global
Kaltim.
***
Sejumlah langkah yang
dilakukan pemerintah sejak tahun 1970-an hingga saat ini dianggap malah
menjadikan upaya penghancuran TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat) semakin
kencang. TNKS berdasarkan SK Menteri Kehutanan dengan N0. 192/Kpts-II/1996
luasnya mencapai 1.386.000 hektar. Luas TNKS terbagi dalam empat provinsi yakni
seluas 353.780 hektar (25,86%) di Sumatera Barat, seluas 422.190 hektar
(30,86%) di Jambi, seluas 310.910 hektar (22,73%) di Bengkulu, serta seluas
281.120 hektar (20,55%) di Sumatera Selatan.
Setelah menghilangkan nama Marga Seblat dengan membentuk
pemerintahan kecamatan, pemerintah kemudian memberi ijin menghabisi Seblat
dengan perkebunan sawit. Selanjutnya, agar tidak mendapatkan kecaman dunia
internasional, pemerintah membuat Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat sebagai enclave di tengah kawasan perkebunan sawit.
Kini keberadaan PLG
Sebelat pun didorong untuk dihilangkan dengan cara membuat statusnya menjadi
Taman Wisata Alam (TWA) PLG Seblat, tanpa didukung oleh infrastruktur yang
baik. Indikasinya, akses jalan menuju PLG Seblat kian memburuk. Jembatan
gantung untuk menyeberang Sungai Air Seblat dari perkebunan sawit di Desa Suka
Baru menuju PLG Seblat tidak pernah diperbaiki sejak mengalami kerusakan pada
1997. Begitu pula jalan sepanjang 20 kilometer yang melintas Desa Suka Maju dan
Suka Baru dibiarkan rusak, berlubang dan berdebu. Kondisi ini membuat turis
malas berkunjung.
“Jika turis malas
berkunjung, dan tidak ada satwa yang hidup atau menetap di PLG Seblat, jelas
akan menjadi alasan yang kuat buat ditutup atau mengalih fungsikannya,” papar
Delvi dari Walhi Bengkulu.
Anehnya, menurut
Delvi, pihak pengelolaan TNKS hanya menyebutkan kerusakan hutan TNKS hanya
dilakukan perambah. Misalnya mengumumkan 6.800 hektar hutan di TNKS rusak
akibat perambahan, penambangan dan perladangan. Sejak tahun 2008 tercatat 33
perkara gangguan hutan di TNKS.
Jika keberadaan
pertambangan batubara eksis, jelas akan membuat gajah menjadi terganggu,
sehingga gajah-gajah itu pergi atau berkonflik dengan manusia sehingga terbunuh
atau diburu.
Wilayah TNKS sendiri
merupakan pegunungan yang terbentuk oleh berbagai peristiwa geologi purba
seperti gunung meletus, gempa bumi, sehingga melahirkan lapisan mineral. Mulai
dari batubara, migas, emas, nikel, dan kemungkinan kandungan mineral lainnya.
Menurut Delvi,
terdapat skenario besar yang dilakukan oknum pemerintah terhadap TNKS. Skenario
ini diduga melibatkan sejumlah pejabat pemerintah pusat, daerah, dan pelaku
ekonomi, khususnya pengusaha pertambangan. Tujuannya untuk menjadikan wilayah
Seblat sebagai pusat penambangan batubara, emas serta mineral lainnya. Di
Bengkulu, upaya penghancuran TNKS sudah dijalankan pemerintah Kabupaten
Bengkulu Utara, Mukomuko dan Lebong.
Bengkulu Utara
merupakan kabupaten yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan
(IUP) di Bengkulu yakni sebanyak 46 IUP dengan luasan 221.371 hektar, Kabupaten
Mukomuko sebanyak 15 IUP dengan luasan 59.939 hektar, Kabupaten Lebong dengan 5
IUP yang luasannya mencapai 14.702 hektar, sehingga totalnya 296.012 hektar.
Melihat luasan ini,
maka TNKS yang berada di Bengkulu jelas sudah banyak yang rusak. Jika luasan
IUP 296.012 hektar ditambah luasan perkebunan sawit 59.587,43 hektar maka total
lahan yang digunakan di Bengkulu Utara, Lebong dan Mukomuko mencapai 355.559,
43 hektar.
Bagaimana dengan
Bengkulu Utara? Luas kabupaten ini mencapai 554.854 hektar, luasan hutannya
mencapai 222.116,09 hektar. Hutan konservasi seluas 81.089,57 hektar, hutan
lindung 40.298,60 hektar, hutan produksi 65.420,71 hektar, dan hutan
taman wisata. Khusus luasan TNKS di Bengkulu Utara mencapai 72.171 hektar.
Jika luas HGU dan IUP
digabungkan yakni 280.598,43 hektar, maka lebih dari setengah luas kabupaten
tersebut dipergunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan batubara. Luasan
ini pun melebihi luas hutannya.
***
Saat Belanda menguasai
Nusantara, wilayah TNKS merupakan wilayah yang menjadi perhatian khusus.
Apalagi saat itu sudah berlangsung penambangan emas di wilayah Rejang Lebong.
Baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan sejumlah perusahaan.
Agar efisien
mengontrol wilayah Sumatera bagian Selatan, yang mencakup Sumatera Selatan,
Jambi, Bengkulu, dan Lampung, Belanda pun berencana memindahkan pusat
pemerintahan dari Palembang ke Tebingtinggi. Tebingtinggi letaknya di tengah
wilayah Sumatera bagian Selatan.
“Belanda rela
melepaskan Singapura, hanya untuk mendapatkan Bengkulu. Ada apa? Tentunya ada
kekayaan yang diincar Belanda,” kata Delvi.
Saat era Orde Baru
berkuasa, TNKS merupakan wilayah yang tertutup. Tidak ada yang berani masuk ke
wilayah ini kecuali transmigran, anggota meliter, serta perusahaan perkebunan
dan penambangan. Bahkan, sulit sekali para akademisi atau budayawan buat
mengungkapkan kebesaran kebudayaan yang pernah tumbuh dan hidup di wilayah TNKS
yang merupakan bagian dari Bukitbarisan.
“Setelah Soeharto
jatuh, baru terungkap bahwa telah lama ditemukan bukti-bukti kebesaran
kebudayaan di Bukit Barisan, yang pernah berkembang sekitar 2.000 tahun Sebelum
Masehi,” kata Delvi.
Ada dua hal yang
menjadi hambatan melaksanakan skenario besar tersebut. Pertama keberadaan TWA
PLG Seblat. Yang mana keberadaannya menjadi “rumah” bagi penggiat lingkungan
hidup memantau TNKS. Agar skenario tersebut berjalan lancar, TWA PLG Seblat
haruslah ditutup.
Kedua, belum adanya
infrastruktur transportasi darat di TNKS. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
jalan menghubungkan berbagai wilayah di TNKS. Agar pembuatan jalan ini
mendapatkan dukungan dari masyarakat, dan tidak dicurigai untuk kepentingan
bisnis, direncanakanlah pembuatan jalan evakuasi di TNKS sebanyak dua dua
jalur: Lempur (Kerinci) – Sungai Ipuh (Mukomuko, Bengkulu) sepanjang 17
kilometer dan Masgo (Kerinci) – Dusun Tuo (Merangin) sepanjang 11 kilometer.
Kedua jalan ini hendak dibangun selebar 8 meter.
Alasan pembuatan jalan
evakuasi karena Bengkulu dan Jambi merupakan wilyah yang paling rentan
mengalami bencana alam, baik karena letusan Gunung Kerinci maupun gempa bumi.
“Kami sangat yakin
setelah dua proyek tersebut berjalan lancar, menutup TWA PLG Seblat dan
membangun jalan evakuasi, maka TNKS akan menjadi wilayah penambangan, yang
akhirnya dalam waktu 10-15 tahun gundul dan gersang,” kata Delvi kepada saya.
***
Pada 2013,
Menhut menetapkan kawasan Lebong Kandis dijadikan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
dengan luasan 42.000 hektar, yang diserahkan kepada PT API (Anugerah Pratama
Inspirasi) milik Bakrie Group.
Walhi Bengkulu menolak
pemberian izin kepada PT API untuk mengelola HPT Lebong Kandis. Mereka protes
dengan mengirimkan surat ke Menhut, Gubernur Bengkulu, BKSDA, serta kepolisian.
Aktifitas PT API di HPT Lebong Kandis pun terhenti hingga saat ini. Alasan
utama penolakan tersebut karena HPT Lebong Kandis mengancam keberadaan satwa
seperti gajah dan harimau, serta merusak sumber air bersih. PT API sampai saat
ini belum beraktifitas.
Berselang setahun,
Menhut mengeluarkan pengukuhan status HPT Lebong Kandis menjadi Hutan Produksi
yang dapat Dikonvensi (HPK) dengan SK No.3890/MENHUT-VII/KUH/2014 tertanggal 13
Mei 2014 dengan luasan 711 hektar. Sebelumnya wilayah ini masuk dalam Taman
Wisata Alam (TWA) PKG Seblat.
Sebaliknya guna
menutupi kekurangan TWA PKG Seblat di HPK-kan, diberikanlah lahan seluas 1.412
hektar. Padahal lahan ini sebelumnya sudah dirambah dan kini sebagian besar
menjadi perkebunan sawit yang telah berproduksi. Penetapan ini berdasarkan
Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu Menteri Kehutanan
pada 2011.
Dengan demikian,
meskipun secara teori, TWA PKG Seblat bertambah luasnya menjadi 7.737 hektar,
tapi sebenarnya PKG kehilangan hutan yang penting bagi kehidupan gajah.
Menurut Walhi
Bengkulu, dengan status tersebut bukan tidak mungkin statusnya akan turun
menjadi Areal Peruntukan Lain (APL) sehingga dapat digunakan untuk apa pun.
“Kami curiga, penurunan status hutan tersebut sebagai proses untuk dilakukannya
penambangan batubara di Lebong Kandis,” kata Delvi.
Ada tiga hal yang
menjadi indikator upaya penambangan batubara di Lebong Kandis. Selain SK Menhut
tersebut, juga didapatkan informasi bahwa di lokasi HPK terdapat kandungan
batubara. “Ketiga, saat ini terjadi ilegal logging di lokasi HPK Lebong Kandis.
Ilegal logging merupakan strategi agar hutan tersebut menjadi rusak, sehingga
statusnya diturunkan menjadi APL,” ujar Delvi. “Oleh karena itu kami menuntut
pemerintah, khususnya Menhut, untuk mencabut keputusan HPK Lebong Kandis,”
Selain itu, PT Inmas
Abadi mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah HPK yang merupakan
habitat gajah dan harimau. Perusahaan ini mendapatkan konsensi seluas seluas
5.672 hektar.
“Jika terjadi
penambangan batubara di Lebong Kandis, yang pertama menerima dampaknya adalah
gajah. Lokasi yang dijadikan HPK itu merupakan habitat gajah. Tempat gajah
mencari makan, menetap dan berkembang biak,” kata Erni Suyanti Musabine dokter
hewan satwa liar. “Saat ini hampir setiap hari terjadi konflik antara warga
dengan gajah di lokasi tersebut,” ujarnya.
![]() |
http://www.mongabay.co.id/ |
“Rekomendasi kami
hentikan semua aktifitas pertambangan batubara, termasuk pula perkebunan sawit.
Kalau ini tidak dilakukan Bengkulu akan menjadi padang pasir, khususnya di
wilayah Sebelat,” pungkas Delvi.
***
Sebelum adanya
penambangan batubara, kondisi Sebelat sudah tidak baik karena keberadaan
perkebunan sawit. Berulangkali Sungai Air Seblat meluap pada musim penghujan,
dan masyarakat krisis air pada saat musim kemarau, seperti yang dirasakan
masyarakat Desa Suka Merindu, Suka Maju dan Suka Baru, pada saat ini.
Sementara Sungai Air
Seblat selain dangkal, juga tepiannya mengalami abrasi. Seperti tepian sungai
yang berada di dekat kamp dan latihan gajah PLG Seblat. Rusaknya wilayah
hulu ini kian parah dengan adanya sejumlah penambangan batu kali di sungai
tersebut.
“Saat ini terdapat
sekitar 800 hektar luasan kebun sawit dan karet yang dikelola sekitar 250
kepala keluarga di Dusun Air Kuro,” ujar Anang relawan PLG. Hingga kini secara
administratif Dusun Air Kuro belum ditetapkan sebagai wilayah pemukiman
penduduk.
Masyarakat merambah
hutan di Lebong Kandis, yang merupakan koridor PLG Seblat dengan perusahaan
perkebunan sawit milik PT Alno Agro Utama. Setelah dirambah, hutan tersebut
dijadikan kebun karet dan sawit. Tercatat sekitar 800 hektar hutan dijadikan
perkebunan sawit dan karet. Wilayah perambahan ini dinamakan Dusun Air Kuro.
Masyarakat awalnya
merambah lahan milik 200 transmigran yang menetap di Desa Suka Maju dan Suka
Baru seluas 200 hektar. “Kami takut berkonflik dengan mereka, jadi kami jual
saja pada mereka,” kata Anang yang sejak kecil menetap di Desa Suka
Baru. “Bukan hanya konflik manusia dengan hewan, khususnya gajah, akan
meningkat. Tapi wilayah resapan air akan kian hilang. Ancaman banjir dan
kekeringan bukan hanya terjadi di sekitar PLG Seblat juga pada wilayah lainnya
di Bengkulu Utara.”
Aktifitas penambangan
batubara juga akan menyebabkan pencemaran Sungai Air Seblat. Saat ini air
Sungai Air Seblat sudah tercemar oleh limbah batubara dari aktifitas PT Global
Kaltim. Meskipun pencemarannya belum separah yang dialami Sungai Air Bengkulu.
Permohonan agar
pemerintah mencabut HPK Lebong Kandis, juga diinginkan warga di Desa Suka Maju
dan Suka Baru.

“Berdasarkan dialog kita dengan warga, warga sangat khawatir
jika dilakukan penambangan batubara di Lebong Kandis. Alasannya karena yang
menjadi korban pertama adalah kami. Mulai berkonflik dengan satwa, krisis air,
dan tentu saja kemiskinan,” kata Anang, yang membentuk organisasi ECC (Elephant
Care Community), sebuah lembaga yang memberikan pendidikan mengenai gajah
ke sekolah dan masyarakat di Putri Hijau.
“Jika penambangan
batubara dilangsungkan di Lebong Kandis, jelas Bona tidak akan mampu bertahan
hidup, begitu juga dengan ratusan gajah lainnya, baik yang jinak maupun liar,”
kata Anang.
Saya terdiam,
termenung, tidak mampu membayangkan bagaimana nasib Bona beberapa tahun ke
depan. Apakah dapat bertahan hidup atau mati karena berkonflik dengan manusia,
mati diburu, atau mati kelaparan.
Komentar
Posting Komentar