Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain konflik (1,48%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.(mongabay).
Hitungan tersebut baru yang berhasil direkam selebihnya tentu masih banyak kasus serupa yang tersembunyi dan memakan korban. Bayangkan melebihi luas Provinsi Bengkulu.
Hingga dengan saat ini konflik di tingkat masyarakat versus pertambangan, perkebunan, BUMN, dan seterusnya tetap terbuka bahkan tak sedikit jatuh korban jiwa. Masih membekas ingatan saya seorang ibu beserta anaknya yang masih bocah harus menjadi janda dan yatim karena suami/ayah mereka tewas meregang nyawa tertembus peluru aparat.
Tak ada kejelasan terhadap nasib mereka hanya karena saling klaim tanah antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kebanyakan masyarakat berkonflik tersebut merupakan petani, mereka tentu membutuhkan tanah sebagai modal dasar bagi hak hidup mereka. Perjuangan para petani hingga kini masih terpecah-pecah.
Beberapa para pengabdi dan masyarakat tetap berjibaku mendapatkan hak akses atas tanah yang diklaim milik perusahaan namun tetap saja tembok tinggi dan tebal yang mereka temui.
Penyelesaian konflik agraria baik yang tersembunyi maupun terbuka tak mampu diselesaikan hanya oleh bupati/kepala daerah, namun intervensi pusat sangat dinantikan. Banyak ditemui para kepala daerah kebingungan pada saat sengketa melibatkan BUMN misalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar