-
 |
| Gambar. Aksi Masyarakat Menuntut Penyelesaian Konflik Agraria |
Jika ingin tahu bagaimana kondisi petani di Bengkulu dan
bagaimana kekejaman korporasi mengkriminalisasi petani kecil ada pada kisah
Nurdin berikut ini.
Nurdin adalah seorang petani berumur 60 tahun. Dia tinggal di
desa Rawa Indah, Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma bersama anaknya Jopa.
Istrinya telah meninggal dunia 3 tahun yang lalu. Sedangkan 4 anaknya yang lain
tinggal jauh di luar daerah.
Nurdin dan Jopa masuk dalam kategori keluarga miskin. Mereka
tinggal di rumah sederhana berukuran 4x4 meter. Rumah Nurdin berdinding papan
yang sudah lapuk dan renggang. Atap rumahnya berupa seng yang sudah rusak dan
mau lepas. Di dalam rumah hanya terdapat 1 buah rak piring, 1 meja tempat menyimpan
nasi dan sayur serta 1 buah kamar tidur.
Namun, kemiskinan tidak membuat Jopa berhenti untuk mengenyam
pendidikan. Saat ini Jopa sedang menempuh pendidikan di SMP 31 desa Rawa, kelas
II SMP. Di sekolah Jopa merupakan siswa yang rajin, dia selalu masuk sekolah
dan mengerjakan PR. Jopa juga sering ditunjuk oleh pihak sekolah untuk menjadi pemimpin upacara.
Semenjak ibunya meninggal, Jopa menggantikan peran ibunya.
Setiap hari Jopa memasak, mencuci, membersihkan rumah dan menyetrika pakaian sendiri.
Sesekali ikut bapaknya memetik kelapa sawit dan membersihkan kebun sawit milik
orang tuanya.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Nurdin mengelolah kebun
kelapa sawit miliknya. Kebun tersebut
seluas 2 hektar. Lahan tersebut dapatkan dengan cara membeli lahan transmigrasi
dan telah bersertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan.
Awal Agustus yang lalu nasib naas dialami Nurdin. Pada saat
itu (07 Agustus 2016) Nurdin bersama Jopa sedang memanen kelapa sawit di lahan
miliknya. Saat sedang panen tiba-tiba 7 orang karyawan PT. Agri Andalas dan
polisi mendatangi Nurdin. Mereka menuduh Nurdin telah mencuri kelapa sawit
milik PT. Agri Andalas. Tidak hanya itu, Syafrin tetangga kebun Nurdin
mendengar suara tembakan senjata api. Suara tembakan tersebut diduga berasal
dari anggota kepolisian yang turut mendatangi Nurdin. 3 hari setelah kejadian
itu Nurdin diciduk oleh aparat kepolisian dan dibawa Polres Seluma untuk
kemudian ditahan.
Lokasi perkebunan masyarakat desa Rawa Indah memang
berdekatan dengan HGU PT Agri Andalas. Beberapa lahan masyarakat tumpang tindih
dengan kebun PT Agri Andalas. Bahkan PT Agri Andalas tidak segan untuk menanami
kelapa sawit di selah-selah tanaman kelapa sawit milik masyarakat.
Selasa, 20 September yang lalu, Nurdin menjalani sidang
perdana di Pengadilan Negeri Tais. Nurdin didakwa melakukan pencurian kelapa
sawit 24 tandan milik PT. Agri Andalas. Sebelumnya Nurdin telah mendekam di
Lapas kelas II A Bentiring kota Bengkulu. Karenanya, Jopa terpaksa hidup
sendiri. Jopa terpaksa membongkar uang simpanannya di celengan ayam yang telah
dia simpan selama 3 tahun.
Masyarakat desa Rawa Indah yang dikriminalisasi tidak hanya
Nurdin. Sejak lima tahun terakhir setidaknya ada 18 orang warga desa Rawa Indah
menjalani hukuman penjara akibat tuduhan pencurian buah kelapa sawit. WALHI Bengkulu mencatat, sejak 2010, di Kabupaten Seluma
terdapat 38 kasus kriminalisasi terhadap petani.
24 September, Hari Tani
Hari ini, Sabtu 24 september 2016 memperingati perayaan Hari
Tani Nasional. Tanggal 24 September ditetapkan Hari Tani sebagai pengingat
bahwa pada tanggal tersebut di tahun 1960 Presiden RI Soekarno menetapkan
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Hari tani merupakan hari kemenangan bagi para petani, karena dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai landasan untuk
membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal.
Dalam rangka memperingati hari tani ini WALHI Bengkulu
menyampaikan beberapa tuntutan :
- Stop krimininalisasi terhadap petani, bebaskan Nurdin
bersama petani lain yang saat ini mendekam di dalam penjara karena
mempertahankan haknya (lahan).
- Bentuk komisi/badan khusus
penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan permasalahan konflik
agraria di provinsi Bengkulu.
- JalankanLandreform Undang-undang Pokok Agraria 1960 dan Pasal 33 UUD
1945 sebagai solusi persoalan agraria.
- Moratorium izin tambang dan
perkebunan di provinsi Bengkulu.
-
 |
| Gambar. Aksi Tolak PLTU Batubara di Depan BLH Prov. Bengkulu |
Jumat, 26 Agustus 2016
Koalisi Masyarakat Sipil Bengkulu melakukan aksi penolakan terhadap pembangunan
PLTU batubara di kelurahan Teluk Sepang kota Bengkulu. Kegiatan tersebut bertempat di depan BLH Provinsi Bengkulu, bertepatan
dengan pelaksanaan sidang AMDAL membahas rencana pembangunan PLTU.
Polusi udara adalah
pembunuh senyap, telah menyebabkan 3 juta kematian dini di seluruh dunia.
Pembakaran batubara salah satu contributor terbesar polusi ini. Polusi udara
menyebabkan peningkatan resiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung dan
penyakit pernapasan.
PLTU mengotori udara
dengan polutan beracun termasuk merkuri, timbal, arsenik, cadmium, dan partikel
halus namun beracun yang dapat menyusup ke dalam paru-paru masyarakat.
PLTU mengeluarkan
polusi yang membunuh, meracuni udara, menyebabkan gangguan kesehatan dan
kerugian yang luas untuk pertanian, perikanan, lingkungan dan perekonomian
masyarakat.
Alih-alih membangun PLTU
yang baru, seharusnya kita menutup PLTU batuara yang ada. Menghirup udara
bersih dan segar adalah hak mendasar dan terpenting bagi manusia. Adalah
kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak mendasar ini bagi rakyatnya. Pemerintah seharusnya membangun tren energi
bersih untuk masa depan yang lebih baik.
Rekomendasi Peserta Aksi
1. Tidak
ada pembangunan pltu batubara baru
2. Meningkatkan
penggunaan energi terbarukan (panas bumi, angin, surya, air)
3. Pemerintah
harus berbuat baik untuk perubahan iklim
4. Memperkuat
aturan hukum dan penegakannya, hukum terkait kualitas udara Indonesia yang
harus melindungi rakyat.
-
 |
| Gambar. Anggota FPB Menolak Eksekusi Lahan, Sahrul Iswandi Oleh PN Tais |
Bengkulu, 14 Agt
2016
Selasa 2 Agustus 2016 Pengadilan
Negeri Tais menetapkan eksekusi terhadap lahan Sahrul Iswandi dengan keputusan Pengadilan
Negeri Tais nomor. 01/Eks/2016/PN.TAS. Eksekusi lahan seluas 5,29 ha tersebut berdasarkan
dimenangkannya lelang HGU eks Way Sebayur oleh PT Sandabi Indah Lestari yang sebelumnya
adalah lahan terlantar yang telah dikuasai oleh rakyat.
Eksekusi direncanakan dilaksanakan
tanggal 11 Agustus 2016, namun dengan pertimbangan perayaan HUT RI yang sudah
dekat dan dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban, eksekusi ditunda oleh Pemkab
Seluma. Eksekusi direncanakan akan dilaksanakan kembali setelah 17 Agustus 2016.
Konflik antara masyarakat dengan PT
Sandabi Indah Lestari telah berlangusng cukup lama yaitu sejak tahun 2011.
Selama ini Pemda Seluma maupun BPN Bengkulu tidak mampu menyelesaikan konflik
antara masyarakat dengan PT Sandabi Indah Lestari, hingga keluarlah keputusan PN
Tais mengkeksekusi lahan masyarakat.
Forum Petani Bersatu menolak rencana eksekusi tersebut. Tanggal 11 Agustus 2016 ratusan masyarakat berjaga di lokasi lahan yang akan dieksekusi. Ketua Forum Petani Bersatu, Osian Pakpahan menyampaikan proses eksekusi banyak kerancuan dianratanya :
1. Pelaksanaan eksekusi cenderung dipaksakan, karena tidak mempertimbangan fakta di lapangan.
2. Dalam proses aanmaning terjadi kerancuan. Sahrul Iswandi diminta oleh Pengadilan Negeri Tais untuk menghadiri amaning tanggal 29 maret 2016, namun aanmaning tidak jadi dilakukan padahal Sahrul Iswandi telah hadir dan siap untuk mengikuti aanmaning.
3. Sedangkan hasil Aanmaning yang kedua, yang tertuang dalam berita acara nomor 01/EKS/2016/PN.Tas bahwa Pengadilan Negeri Tais memberikan waktu kepada pemohon dan termohon untuk berunding, namun sampai saat ini perundingan tidak pernah terjadi, selain itu
4. Pengadilan Negeri Tais juga tidak pernah mempertimbangan hak-hak termohon sebagai warga Negara.
Sedangkan Direkutr
WALHI, Bengkulu Beni Ardiansyah menyampaikan bahwa eksekusi tersebut cenderung berpihak kepada pihak
pemodal dan merupakan bukti bahwa
pemerintah tidak mampu melindungi hak-hak rakyat atas tanah/lahan.
Beni melanjutkan, konflik agraria
tidak akan selesai selama masih terdapat ketimpangan pengusaan lahan antara rakyat
dengan pemilik modal. Ruang kelola di Provinsi Bengkulu sebagian besar dikuasai
pemilik modal yang luasannya mencapai 463.964 hektar, terdiri dari HGU dan kuasa pertambangan. Sedangkan
jumlah
penduduk Provinsi Bengkulu mencapai 2 juta jiwa. Jika
dibagi rata setiap masyarakat Bengkulu hanya mampu mengakses kurang dari 0,8 hektare
lahan. Untuk itu harus segera dilakukan peninjauan kembali izin-izin konsesi yang berkonflik dengan masyarakat,tutup
Beni.
Kontak Person
Osian Pakpahan, Ketua FPB : 081278472378
Beni Ardiansyah, Direktur WALHI Bengkulu : 082375088004
-
 |
| Gambar. Pengibaran Bendera Raksasa Pada Tiang Pohon Kelapa, Bagian Dari Aksi Penolakan FMRGB Terhadap PT CBS |
Rabu, 13 Juli 2016, Forum
Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk (FMRGB) melakukan aksi pengibaran bendera
raksasa (10x20m) di desa Durian Lebar, Kecamatan Merigi Sakti, Kabupaten
Bengkulu Tengah. Kegiatan ini merupakan bagian dari aksi penolakan warga
terhadap aktifitas perusahaan tambang batubara dengan system underground PT.
Cipta Buana Seraya (PT CBS) yang beroperasi di wilayah desa Lubuk Unen, Kec.
Merigi Kelindang, Kab. Bengkulu Tengah. Penolakan dilakukan karena kekhawatiran
masyarakat terhadap dampak buruk dari aktifitas pertambangan batubara, yaitu
terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran. Masyarakat belajar dari desa
Kota Niur, Kecamatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah yang lahan masyarakatnya
banyak yang ambruk akibat aktifitas pertambangan batubara dengan system
underground di wilayah desa tersebut.
Aksi
pengibaran bendera dimulai pukul 10.00 WIB dan dihadiri oleh 300an warga dan diiringi dengan menanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera
dikibarkan pada tiang pohon kelapa dengan ketinggian mencapai 20 meter dan merupakan salah
satu bendera terbesar yang pernah ada di Provinsi Bengkulu.
Dalam
aksi ini juga dilakukan penggalangan tanda tangan dan cap jempol
berdarah. Jika tuntutan warga tidak dipenuhi oleh
pemerintah sampai tanggal 20 Juli 2016, maka tanda tangan dan cap jempol
berdarah ini akan dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo,
sebagai laporan warga bahwa telah terjadi pengabaian oleh Pemerintah
Daerah terhadap warga yang telah berjuang sampai berdarah-darah menuntut hak atas lingkungan yang baik.
Indra
Jaya, Sekretaris Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk (FMRGB) menyampaikan
bahwa kegiatan ini sebagai wujud bahwa Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk
(FMRGB) setia dan cinta kepada NKRI dengan berpedoman kepada Pancasila
dan UUD 1945 serta cinta damai. FMRGB menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan
yang adil bagi masyarakat, serta memberikan hak masyarakat yaitu hak atas
lingkungan yang baik.
Sementara
itu direktur WALHI Bengkulu, Beni Ardiansyah menyampaikan bahwa pemujaan pemerintah
terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi menjadikan pemerintah abai
terhadap hak-hak masyarakat. Padahal Dalam Konsitusi
yang tertuang pada UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 1, menyebutkan bahwa,”“Setiap orang
berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahwa lingkungan yang baik dan sehat
merupakan hak asasi setiap warga Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal
28 H UUD 1945. Dengan demikian pengakuan hak atas lingkungan yang baik dan
sehat sebagai hak asasi setiap warga Negara di Indonesia dan hak konstitusional
bagi setiap warga Negara. Oleh karena itu Negara, pemerintah, dan seluruh
pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Kontak
Person
Indra Jaya : 085384827873 (FMRGB)
Fery
Padli : 082377752229 (WALHI Bengkulu)
-
 |
| Gambar. Aksi Penolakan Warga Terhadap Perusahaan Tambang Batubara PT Cipta Buana Seraya |
Bengkulu, Sejumlah
warga tertembak saat melakukan demo tolak tambang di lokasi PT. Cipta Buana
Seraya (CBS) Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi
Bengkulu. Demo yang terjadi sekitar pukul 10.00 wib hari ini, Sabtu, 11 Juni
2016 mengakibatkan 4 orang warga harus dirujuk kerumah sakit M. Yunus kota
Bengkulu. Menurut warga, ada 2 lagi korban yang tertembak namun tidak di rujuk
ke rumah sakit M.Yunus.
Keempat korban
tersebut adalah Marta Dinata (20) warga desa Komering, tertembak diperut hingga
menembus. Yudi (28) warga desa Komering, tertembak dibagian perut. Alimuan (65)
warga desa Durian Lebar, tertembak ditangan, dan Badrin (45) warga desa Durian
Lebar tertembak di bagian leher dan paha.
Alimuan , korban menjelaskan
kronologi Kejadian“aksi warga kali ini karena beberapa kali aksi tidak ada
tanggapan dari pemerintah kabupaten Bengkulu Tengah. Sebelumnya Koordinator Forum
Anak Rejang Gunung Bungkuk dipanggil sama pihak pemerintah, katanya
hari ini itu bupati mau datang dan memutuskan apakah tambang dilanjutkan atau
tidak. Ketika warga datang kelokasi PT. CBS sudah banyak polisi, brimob, dan tentara
yang jaga. Aparat yang berjumlah 500
orang lebih bersenjata lengkap. Brimob jaga di bagian depan, dekat pagar dengan
senjata peluru karet, dan gas air mata. aparat jaga di barisan kedua, dekat
tebingan di lokasi. Saya dibarisan tengah dengan beberapa korban yang lainnya.
Saya tidak begitu tahu apa yang terjadi didepan, tiba-tiba chaos. Marta Dinata korban pertama yang tertembak oleh polisi yang
berada dibelakang brimob. Aparat yang menggunakan peluru tajam, makanya sampai
menembus perut Marta Dinata”.
Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Kasrawati, warga desa Susup (36) “kejadian hari ini adalah
luapan kemarahan warga atas ketidakjelasan dan ketidakberpihakan pemerintah
kepada masyarakat selama ini. Apalagi pagi itu masyarakat dijanjikan bahwa akan
ada pejabat yang mau datang jam 10 tadi pagi ternyata sudah banyak aparat
dilokasi. Nurdin, koordinator forum dan sekaligus korlap tidak mampu membendung
kemarahan warga akhirnya aksi menjadi tidak terkendali. Warga memaksa masuk
kelokasi pertambangan namun dihadang oleh aparat. Aparat menembakkan gas air
mata dan tembakan peluru karet dan timah panas”.
Kasrawati juga
menjelaskan kronologi perjuangan yang telah dilakukan warga.
Pada saat pertemuan
di Badan Lingkungan Hidup provinsi Bengkulu pada tanggal 15 Januari yang lalu
warga sudah mengatakan menolak. Walaupun ada tiga kades yang setuju, itupun
karena desa mereka jauh dari lokasi pertambangan underground.
Tanggal 7 Mei 2016
warga melakukan aksi dengan jumlah 1300 orang. Aksi memasang tombak dengan bendera
dan plakat yang bertuliskan “masyarakat menolak sistem underground” sebagai simbol penolakan.
Tanggal 6 Mei 2016
pihak BLH provinsi turun ke lokasi untuk melihat kondisi lapangan dan lobang
tambang yang tidak direklamasi yang mengakibatkan 1 korban anak meninggal dunia.
Pihak BLH berjanji akan memberikan keputusan apakah tambang tetap beroperasi
atau tidak, dengan deadline waktu
tanggal 4 Juni 2016. Ada beberapa tuntutan yang disampaikan warga, salah satu
poinnya jika pemerintah tidak memihak warga dengan mencabut izin tambang, warga
akan turun untuk aksi kembali.
Hingga tanggal 4
Juni tidak ada kabar dari pemerintah. Warga mendapat informasi pada tanggal 5
kalau hasil dari perjanjian tersebut pemerintah tidak memihak warga dengan
tetap melanjutkan pertambangan.
Pemerintah tidak
menepati janji, dan masyarakat merasa ditipu. Hingga tanggal 10 Juni Nurdin,
dipanggil pihak kepolisian sekaligus mengantarkan surat pemberitahuan demo
tanggal 10 Juni 2016. Hingga pukul 24.00 wib, Nurdin baru kembali. Kepolisian
menyampaikan warga kiranya mau menahan aksi hingga minggu depan, tetapi Nurdin
tidak dapat mengambil keputusan.
11 Juni 2016, warga
melakukan aksi di lokasi PT. Cipta Buana Seraya (CBS) dengan melibatkan kurang
lebih 500 orang. Warga dijanjikan bahwa pukul 10.00 wib akan ada pejabat yang
datang. Setibanya dilokasi sudah banyak aparat kepolisian, brimob dan tentara
yang menjaga lokasi. Merasa ditipu dan dihianati oleh pemerintah, akhirnya
warga tidak mampu menahan kemarahan dan aksi akhirnya pecah, kerusuhan terjadi.
Akhirnya warga yang
berasal dari 12 desa, Desa Susup, Penembang, Lubuk Unem 1 dan 2, Taba Durian
Sebakul, Talang Ambung, Raja Sesi 1 dan 2, Komering 1 dan 2, Taba Gematung, dan
Durian Lebar berhamburan kedua arah yaitu arah Susup, satu lagi arah Lubuk
Unen. Warga yang berlari kearah Lubuk Unen lah yang banyak menjadi korban
penembakan oleh aparat. Sekalian korban penembakan, satu buah motor warga juga
terbakar.
Info terakhir
korban Marta Dinata yang dalam kondisi
kritis, telah di operasi di rumah sakit M. Yunus pukul 20.00 wib yang lalu.
Hingga saat ini warga masih satu suara untuk menutup PT. Cipta Buana Seraya
(CBS).
Kontak Person :
Sony Taurus (085273762037)
Uli Arta Siagian (082182619212)
Fery Padli (082377752229) Kontak Posko
-
BENGKULU, 9 Juni 2016
Kamis, 4 Februari 2016
Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan menolak permohonan Kasasi Kepala
Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu
atas permohonan informasi yang diajukan oleh WALHI Bengkulu.
Adapun informasi yang
diminta WALHI Bengkulu adalah daftar HGU di Provinsi Bengkulu terbaru, Peta dan
titik koordinat HGU PT Way Sebayur (PT Sandabi Indah Lestari) Kabupaten Seluma,
PT Agri Andalas dan PT PTPN7.
Proses sengketa informasi telah
berlangsung cukup lama. Pada tanggal 28 November 2014 WALHI Bengkulu mengajukan
permohonan informasi kepada Kanwil BPN Provinsi Bengkulu. Permohonan ditanggapi
pada tanggal 16 Desember 2014 dengan menyatakan informasi yang diajukan belum
dapat dipenuhi. Selanjutnya tanggal 13 Januari 2015 WALHI Bengkulu mengajukan
keberatan atas permohonan yang tidak diberikan oleh BPN. Dan pada tanggal 26 Januari
2015 permohonan keberatan ditanggapi oleh BPN Provinsi Bengkulu dengan kembali
menyatakan permohonan informasi belum dapat dipenuhi.
Karena BPN belum dapat memberikan
permohonan informasi yang diminta, pada tanggal 13 Februari 2015 WALHI Bengkulu
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi kepada Komisi Informasi
Provinsi Bengkulu. Kemudian pada tanggal 27 Juli 2015 Komisi Informasi
mengabulkan permohonanan sengketa informasi oleh WALHI Bengkulu.
BPN keberatan atas
keputusan tersebut dan pada tanggal 14 Agustus 2015 mengajukan banding ke PTUN
Bengkulu. Pada tanggal 30 September 2016 PTUN juga menolak gugatan BPN dan
menguatkan keputusan Komisi Informasi serta memerintahkan BPN untuk memberikan
informasi sebagaimana keputusan Komisi Informasi.
Kemudian BPN kembali keberatan
dengan keputusan yang ada. Pada tanggal 26 Oktober 2015 BPN mengajukan kasasi
ke Mahkama Agung. Selanjutnya, pada hari Kamis 04 Februari 2016 Mahkama Agung memutuskan
menolak permohonan kasasi dari BPN dan menghukum BPN untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi sebesar 500.000 (lima ratus ribu rupiah).
Dengan keputusan ini maka
BPN Provinsi Bengkulu harus segera memberikan data dan informasi yang diminta
oleh WALHI Bengkulu.
Beni Ardiansyah, Direktur
WALHI Bengkulu menyampaikan bahwa sudah seharusnya pemerintah mau memberikan
data dan informasi untuk kepentingan rakyat dan membuka akses atas informasi
publik tanpa diminta permohonan (aktif) maupun sebaliknya. Apalagi telah ada
Undang-Undang (UU) No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
merupakan produk regulasi yang bertujuan memberikan jaminan memperoleh
informasi publik dalam meningkatkan partisipasi aktif masyarakat pada proses
penyelenggaraan negara.
Beni melanjutkan informasi
yang diminta oleh WALHI Bengkulu penting untuk mendukung upaya penyelamatan
lingkungan hidup di Provinsi Bengkulu. Informasi juga berguna untuk membantu
pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria di Provinsi Bengkulu. Selama ini
minimnya informasi mengakibatkan banyak konflik lahan ditengah masyarakat
karena tidak adanya kejelasan batas konsesi perusahaan perkebunan dan wilayah
kelolah masyarakat.
Sulitnya masyarakat
mengakses informasi mengenai HGU menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik BPN untuk
menyelesaikan konflik agraria di provinsi Bengkulu. Dengan dikabulkannya
permohonan informasi ini diharapkan dapat mengurangi angka konflik lahan yang
ada di provinsi Bengkulu. dan membuka kesadaran masyarakat bahwa masyarakat berhak
untuk mendapatkan informasi mengenai investasi yang masuk di wilayah mereka, ,
lanjut Beni.
-
Siaran pers
(WALHI, Ulayat Bengkulu, Yayasan
Genesis Bengkulu, forum Pengurangan Risiko Bencana Propinsi Bengkulu dan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu)
Luas wilayah kabupaten Kaur 2.369,05 km. 60,5 % nya adalah kawasan hutan. Hal ini sangat bermanfaat bagi warga
kabupaten Kaur. Kawasan hutan ini menjadi hulu dari beberapa sungai besar. Jika pemanfaatan sumber daya
berlangsung secara teratur, keseimbangan alam dan fungsi-fungsi alamiah menjadi
tidak terganggu di dalam ekosistem hutan.
Sumber daya hutan yang bisa langsung
dimanfaatkan oleh warga adalah hasil hutan baik kayu maupun non kayu yang
secara pemanfaatannya tidak melebihi pertumbuhannya, akan tetap menjaga
fungsi kawasan tersebut.
Menurut WALHI Bengkulu implementasi peraturan perundang-undangan hanya
sebatas jargon. Hal ini dapat
memicu penurunan fungsi atau daya dukung kawasan yang menyebabkan terjadinya
bencana ekologis. Intensitas bencana
banjir dan longsor yang semakin meningkat itu berbanding lurus dengan
meningkatnya ekspansi atau perluasan investasi pertambangan dan perkebunan
sawit.
Banjir Bandang.
Berdasarkan informasi tim investigasi
FPRB Bengkulu di lapangan menyatakan bahwa ada 23 rumah yang dinyatakan rusak
parah, sementara yang lain berada pada kondisi masih dapat dihuni walau harus
ada perbaikan
disana-sini.
Pemerintahan mulai dari BPBD, Camat, Polsek,
Sekda dan beberapa pemangku lainnya berdatangan untuk melakukan pembantuan.
Proses pembantuan ini berjalan sporadis tanpa adanya komando dari pihak
manapun, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kaur melakukan
kerja-kerja yang baik dalam mengkoordinasikan semua proses pembantuan ini.
Warga juga secara
mandiri mulai membersihkan rumahnya masing-masing dan memperbaiki seperlunya agar dapat
kembali dihuni. Optimisme tetap muncul dimata mereka bahwa bencana ekologis
ini tidak akan mampu melumpuhkan semangat mereka untuk tetap berjuang dalam
menjalankan aktivitas guna menunjang penghidupan.
Ruang informasipun hampir dapat
dikatakan penuh dengan pemberitaan, semua media mengabarkan tentang kejadian
ini dan Hampir semua pembaca menyatakan duka atas bencana yang terjadi.
Apa yang menjadi penyebab banjir bandang yang meluluh lantakan desa
ini?
Forum Pengurangan Risiko Bencana
menyatakan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab kerusakan ini adalah
rendahnya kemampuan kawasan hutan terbatas (HPT) Bukit Kumbang dalam menahan curahan
air hujan yang menguyur wilayah dalam beberapa hari sebelum banjir datang.
Bukit kumbang dengan luasan 10.732,91 ha, berada pada keadaan kritis. Fungsi
ekologisnya sebagai hulu sungai air nasal, air sawang dan air sambat sudah
tidak mampu berfungsi secara optimal.
Dalam sejarahnya tepat pada 1987 wilayah ini
juga mengalami banjir bandang. Analisa ekologis yang menjadi penyebab bandang
pada waktu itu adalah sejak awal tahun 70an, bisnis kayu mulai berkembang di
Indonesia dan HPT Bukit Kumbang juga tidak luput dari bisnis tersebut.
Paska bandang tahun 1987 aktivitas
logging di Bukit kumbang dapat dikatakan tergolong minim, baru pada tahun 2002 beberapa HPH (kini IUPHK) seperti kasus PT
Semaku jaya Sakti dan PT Sirlando Reksa utama yang berperan sebagai
kontraktor lapangan bekerja dikawasan ini.
Dalam perjalanannya berdasarkan temuan
dan investigasi yayasan Ulayat Bengkulu yang kemudian dipublikasikan pada tahun
2003 menyatakan bahwa PT. Semaku Jaya Sakti yang juga merupaka BUMD ini telah melakukan pelanggaran
hukum dengan melakukan logging di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan,
sementara konsesinya berada di kawasan HPT Bukit Kumbang. Bukit Kumbang sendiri
berdasarkan investigasi pada waktu itu sudah tidak memiliki tegakan kayu dengan
kualitas bagus.
Fakta kondisi HPT Bukit Kumbang yang berbatasan langsung dengan lahan
proyek pemukiman angkatan laut (prokimal) dan HGU PT.Ciptamas Bumi Selaras
(CBS) membuka cela penghancuran Bukit Kumbang. Berdasarkan hasil wawancana yayasan Genesis Bengkulu
dengan masyarakat desa Tanjung Aur bahwa aktivitas logging masih terus
berlangsung. Bahkan pengangkutan
hasil logging dilakukan dengan jhon dere (alat berat) milik PT. CBS, anak perusahaan
Ciputra group. Dapat dipastikan setiap minggu kayu ini keluar dari kawasan
bukit kumbang sebagai wilayah asal kayu.
Dengan analisa perubahan dan
kecenderungan maka dapat dinyatakan bahwa 1970-1987, dalam kurun waktu 17 tahun
mulai dari ekploitasi sampai titik nol kemampuan daya dukung lingkungan telah
menyebabkan bencana ekologis. 2002 -2016, dalam kurun waktu 14 tahun kembali
terjadi posisi titik nol daya dukung lingkungan. Fakta tak terbantahkan ini
harusnya memposisikan pemangku kepentingan terutama Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan pada level nasional, dinas kehutanan pada level provinsi
dan kabupaten adalah kelompok yang paling bertanggungjawab atas kejadian banjir
bandang di kecamatan Nasal kabupaten Kaur. Karena sejatinya mereka tidak mampu
mengelola kawasan yang sudah menjadi tanggungjawab mereka.
Berdasarkan fakta dan kondisi mutahir HPT Bukit Kumbang dimana negara
(pemerintah) mulai dari level nasional hingga kabupaten dipandang tidak mampu
menjaga da melestarikan kawasan tersebut, sistem hutan kerakyatan atau yang
saat ini disebut Pengelolahan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dapat menjadi
resolusi dalam pemastian keselamatan HPT Bukit Kumbang.
##########################################
-
 |
Gamabar Ilustrasi PLTU Batubara Sumber. bagyasoetowo.wordpress.com
|
Pernyataan
salah satu calon gubernur di Provinsi Bengkulu mengatakan bahwa PLTU
menggunakan bahan bakar batubara adalah solusi untuk memenuhi pasokan listrik
di provinsi bengkulu karena melihat kerapnya pemadaman listrik oleh PLN di
bengkulu. Walhi Bengkulu menilai program calon gubernur tersebut untuk
menangani minimnya persoalan listrik adalah program yang harus dikaji ulang dan
harus disikapi secara letter konteks dengan melihat kondisi Potensi Bengkulu
supaya bermanfaat positif bagi masyarakat luas tanpa memberikan dampak negatif
kepada masyarakat kedepannya, perlu kita ketahui bahwa energi yang tidak
terbarukan (bahan bakar fosil; Batubara, Gas Alam, Minyak Bumi )sudah mulai
ditinggalkan oleh negara-negara maju seperti di Amerika dan Eropa karena
ketergantungan kepadabahan bakar fosil tersebut akan menjadi masalah besar, Hal ini dikarenakan
keterbatasan bahan bakar fosil sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Pada akhirnya kita akan kehabisan bahan bakar fosil atau bahan bakar fosil akan
menjadi barang yang sangat mahal jika ingin dipertahankan sebagai sumber
energi. Di samping itu, bahan bakar fosil merupakan penyebab pencemaran udara,
air dan tanah serta menghasilkan gas rumah kaca (green house gas) yang
berperan dalam pemanasan global. belum lagi jika kita lihat ruang lingkup
Bengkulu tercatat oleh Walhi Bengkulu ada 44 izin Konsesi Pertambangan berada
dalam kawasan Hutan/kawasan Lindung yang pada tahun 2015 dominan sudah memasuki
tahapan eksplorasi, jika ini dibiarkan Provinsi Bengkulu akan terancam Bencana
Ekologis seperti Banjir Bandang, Tanah longsor, kebakaran dan Tsunami, dalam
artian untuk konteks Perizinan saja Pemerintah saat ini masih bersifat
ekploitatif, bayangkan jika ini di estafetkan oleh pemimpin yang akan datang
tentunya ancaman bencana disebabkan oleh kerusakan lingkungan akan semakin
meningkat.
Provinsi
Bengkulu adalah Provinsi dengan Luas 1,9 Juta Hektar, Hutan 900.000,2 Hektar
dan panjang pantai mencapai 525 KM serta jumlah penduduk mencapai 2 juta Jiwa
tentunya tersimpan banyak energi terbarukan yang jika dikelola akan berdampak
baik untuk mencukupi kebutuhan energi/listrik di Provinsi Bengkulu, Sumber daya energi terbarukan
seperti angin, sinar matahari, biomassa, tenaga air dan energi gelombang laut
menawarkan pilihan yang lebih bersih untuk menggantikan bahan bakar fosil.
Sumber daya tersebut lebih sedikit atau bahkan tidak mencemari atau pun tidak
menghasilkan gas rumah kaca. sumber daya tersebut akan tetap tersedia dan murah
biaya bila terus dikelola dengan baik serta tepat sasaran.
Walhi Bengkulu meminta
kepada 36 Kontestan kepala daerah yang akan ikut bertarung dipemilihan umum
Kabupaten dan Provinsi pada 9 desember 2015 supaya lebih mengedepankan aspek
Lingkungan berkelanjutan, Program kerakyatan dan Industri ekonomi kreatif yang
ramah lingkungan
-
 |
Gambar : Ilustrasi Kebakaran Hutan
sumber. tempo.com |
Bengkulu ,12 September
2015. Kebakaran hutan dan pencemaran asap ekstrim dalam satu dekade lebih terus melanda
Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, bahkan mulai melanda
Papua dan pulau yang lain. Peningkatan kebakaran bukan hanya meluas dalam hal wilayah dan titik apu , tetapi juga frekuensi kejadian,
sejak tahun 2014 kebakaran dan asap mulai terjadi
2 kali dalam 1 tahun. Peningkatan ini berbanding lurus dengan peningkatan penerbitan izin konsesi sawit dan HTI.
Dari pantauan walhi di wilayah yang setiap tahunnya dilanda kebakaran hutan dan lahan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi korporasi baik perkebunan maupun HTI. Jika pada 2014 titik api yang ditemukan di kawasan hutan yang dibebani hak hutan tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan
(IUPHHK-HA), data yang diolah Walhi dari berbagai sumber menunjukkan, pada 2015 ada 383 titikapi di hutan tanamani ndustri dan 426 titik di konsesi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Di Kalimantan Barat ada 314
sebaran dan titik api berada
di wilayah konsesi.
Pencamaran asap
yang telah malampaui ambang batas kesehatan manusia ini,
diakibatkan oleh praktik buruk korporasi,
perusahaan membakar lahan ketika land clearing. Kejahatan korporasi ini bukan hanya melanggar hukum,
tapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM) secara serius, khususnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam Konstitusi pasal
28H, UU No. 32/2009, dan UU No. 39/1999, khususnya hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Korporasi telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena memenuhi unsur terencana dan meluas
serta berdampak luar biasa bagi masyarakat.
Pemerintah selaku pihak yang berkewajiban dalam mengontrol dan mengendalikan operasi dan dampak aktivitas korporasi, cendrung menghindari tanggungjawab yang seharusnya, justru memaksa rakyat untuk beradabtasi dengan pencemaran
yang ekstrimdengan bahasa bencana.
Sony taurus manager advokasi walhi bengkulu menilai, penegakan hukum pada korporasi lemah.
Terbukti dengan masyarakat kecil yang dijadikan kambinghitam. Karena itu kejahatan lingkungan
yang dilakukan korporasi seharusnya dilakukan upaya penegakan hukum. Selain itu penting moratorium di wilayah ekologi genting unik dan penting, memulihkan daya dukung lingkungan dengan mencabut perizinan perkebunan skala besar dan
HTI.
Sebaiknya pemerintah melakukan perluasan ruang kelolah rakyat dengan memberikan lahan konsesi perusahaan
yang telah dicabut kepada masyarakat yang terbukti mampu mengelolah dan melindungi kawasan hutan dan gambut secara adil dan lestari.
WALHI Bengkulu menggelar aksi simpatik untuk mengingatkan pemerintah, bahwa praktek dan dampak lingkungan kejahatan korporasi tidak terikat batas adminstrasi apalagi konsesi. Masyarakat di Bengkulu bisa menjadi korban dari kejahatan korporasi di Riau atau Jambi. Kami meminta Pemerintah melindungi hak rakyata atas lingkungan
yang baik dan sehat.